skip to Main Content
Syarat-Syarat Melakukan Class Action Di Indonesia

Syarat-Syarat Melakukan Class Action di Indonesia

Class action dapat menjadi wadah yang efisien bagi sekelompok orang untuk mengajukan tuntutan hukum kepada pihak tergugat, baik korporasi maupun pemerintah.

Bagi individu, pengajuan tuntutan hukum mungkin menjadi hal yang rumit. Pengajuan gugatan memiliki berbagai aspek dan persyaratan yang wajib dipenuhi. Belum lagi proses peradilan dan kemungkinan banding dari pihak tergugat dapat memakan waktu dan tenaga cukup banyak.

Padahal, pengajuan tuntutan hukum pun dapat dilakukan secara kolektif, terutama jika tuntutan berkaitan dengan kebijakan publik yang merugikan banyak pihak. Gugatan hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut dinamakan class action. Prosedur hukum ini pun sudah sering diterapkan di Indonesia untuk kasus yang melibatkan perusahaan besar dan pemerintah sebagai pihak tergugat.

Definisi Class Action

Istilah class action menurut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 adalah gugatan perwakilan kelompok, yaitu tata cara pengajuan gugatan, yang mana satu orang atau lebih bertindak sebagai perwakilan kelompok untuk mengajukan gugatan.

Class action atau gugatan perwakilan terbagi atas beberapa jenis:  

1.       Plaintiff Class Action

Jika dilihat dari segi penggugatnya, class action terbagi atas dua jenis yakni plaintiff class action dan defendant class action. Yang dimaksud plaintiff class action adalah pengajuan gugatan perwakilan oleh individu maupun kelompok untuk memperjuangkan kepentingan sendiri dan kelompok dalam jumlah yang besar.

2.       Defendant Class Action

Berbeda dari plaintiff class action, pada defendant class action, pihak perwakilan yang akan melayangkan gugatan ditunjuk oleh kelompok yang akan diwakilkan. Prosedur hukum yang satu ini diterapkan di Indonesia dan beberapa negara lain seperti Kanada, Inggris, Australia, India, dan Amerika Serikat.

3.       Public Class Action

Public class action diajukan untuk gugatan terhadap pelanggaran hak publik. Biasanya, gugatan perwakilan ini diajukan oleh instansi pemerintah yang memiliki kapasitas khusus dan bukan merupakan anggota kelompok yang mengalami kerugian secara langsung.

Persyaratan Mengajukan Class Action

Syarat pengajuan class action tertuang dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan PERMA, ada sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi penggugat, di antaranya:

1.       Syarat Jumlah (numerosity)

Gugatan perwakilan harus menyangkut kepentingan banyak orang. Maksud banyak orang di sini haruslah berjumlah sekurang-kurangnya 10 orang. Hal ini ditujukan untuk menciptakan efisiensi dalam proses gugatan.

2.       Syarat Kesamaan Fakta (commonality)

Baik pihak perwakilan maupun anggota kelas yang diwakilkan harus memiliki kesamaan dasar hukum (question of law) dan kesamaan fakta (question of fact) yang bersifat substansial. Misalnya, dalam kasus pencemaran, penyebabnya berasal dari sumber yang sama, waktu yang sama, serta perbuatan dari pihak tergugat berdampak di lokasi yang sama.

3.       Syarat Kesamaan Jenis Tuntutan (typicality)

Pihak penggugat dan anggota kelas yang diwakilkan harus memiliki kesamaan jenis tuntutan. Persyaratan ini tidak selalu mewajibkan penggugat mengajukan besaran kerugian yang sama. Pokok dari syarat ini adalah adanya kesamaan jenis tuntutan, misalnya tuntutan biaya pemulihan kesehatan, tempat tinggal, atau pengembalian barang hilang yang jumlahnya tentu berbeda antara satu anggota dan anggota lainnya.

4.       Syarat Kelayakan Perwakilan (adequacy of representation)

Pihak yang akan menjadi perwakilan kelas harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk menentukan layak tidaknya ia dalam mengajukan gugatan ke pengadilan. Beberapa persyaratan tersebut meliputi:

  • Memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum dengan kelompok yang diwakilkan,
  • Memiliki bukti-bukti kuat yang dapat dipertanggungjawabkan,
  • Berintegritas dan mampu mempertanggungjawabkan pernyataan serta tindakannya di mata hukum,
  • Berkomitmen dalam memperjuangkan hak-hak kelompok yang diwakilinya atas kerugian yang disebabkan pihak tergugat,
  • Mendahulukan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi,
  • Bersedia dan sanggup menanggung biaya-biaya yang diperlukan selama proses pengajuan gugatan dan peradilan.

Pihak perwakilan kelompok kemudian wajib menyerahkan surat gugatan perwakilan kelompok yang isinya memuat:

  • Identitas wakil kelompok yang lengkap dan jelas,
  • Definisi kelompok secara jelas dan spesifik. Dalam hal ini, wakil kelompok tidak harus mencantumkan nama-nama pihak yang diwakilinya satu persatu,
  • Keterangan mengenai anggota kelompok sebagai syarat dalam pembuatan pemberitahuan,
  • Posita (dasar gugatan) dari seluruh kelompok, baik perwakilan maupun anggotanya, yang dikemukakan secara jelas dan rinci,
  • Perwakilan dapat mencantumkan gugatan berdasarkan sub-kelompok jika tuntutan yang dilayangkan berbeda karena besaran kerugian yang juga berbeda.

Tuntutan harus dikemukakan secara jelas dan rinci, mencakup besaran tuntutan masing-masing anggota kelompok, mekanisme ganti rugi, jangka waktu pelunasan ganti rugi, bahkan bila perlu pembentukan tim khusus yang bertugas memantau serta membantu kelancaran proses ganti rugi.

Setelah gugatan dinyatakan sah oleh hakim, perwakilan berkewajiban memberikan pemberitahuan kepada kelompok yang akan diwakilkannya. Pemberitahuan tersebut dapat dilayangkan melalui media cetak dan/atau elektronik, surat yang ditujukan untuk kantor pemerintahan seperti Kecamatan, Kelurahan, atau Desa, serta Kantor Pengadilan.

Dalam pemberitahuan, setidaknya harus dicantumkan informasi detil seputar kasus, definisi kelompok, ganti rugi, penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok untuk keluar dari keanggotaannya, serta siapa saja yang layak menjadi penyedia informasi tambahan.

Apakah Penerapan Class Action Selalu Berhasil di Indonesia?

Dalam praktiknya, class action di Indonesia tidak selalu berhasil. Secara umum, agar class action dapat berjalan efektif, perwakilan harus memenuhi sejumlah pertimbangan. Pertimbangan tersebut tidak lain meliputi analisis kasus, kemungkinan kasus bisa dimenangkan, bukti-bukti penunjang, jumlah pihak yang dirugikan, besaran jumlah kerugian akibat pelanggaran yang diperkarakan, serta persyaratan formal dalam pembuatan surat gugatan dan pemberitahuan.

Pada kasus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan pihak tergugat PLN dalam kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali pada 1997, gugatan perwakilan tidak diterima oleh pengadilan berdasarkan tiga alasan:

Pertama, gugatan dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kepentingan atau hubungan hukum.

Kedua, pihak penggugat tidak memiliki surat khusus. Dalam pasal 123 ayat 1 HIR disebutkan bahwa pihak penggugat yang tidak memiliki hubungan hukum wajib memiliki surat kuasa khusus agar dapat mengajukan gugatan di pengadilan.

Ketiga, pada saat itu belum ada hukum positif yang secara khusus memberikan definisi dan prosedur pelaksanaan class action di Indonesia.

Keempat, class action lebih banyak diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon. Sementara itu, sistem hukum di Indonesia lebih condong pada hukum Eropa Kontinental.

Tertolaknya gugatan class action di atas terjadi sebelum Indonesia memiliki aturan hukum khusus terkait kasus gugatan perwakilan. Barulah pada 2002, Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan khusus tata cara gugatan perwakilan. Setelah gugatan perwakilan diakui di Indonesia, prosesnya dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Peraturan tersebut juga didukung beberapa aturan undang-undang yang dapat menguatkan alasan diterapkannya class action. Beberapa aturan undang-undang khusus yang mendukung penerapan class action di antaranya:

  • UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi,
  • UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
  • UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Setelah diterapkan di Indonesia, hakim dan para praktisi hukum banyak menemukan sejumlah permasalahan terkait class action, seperti:

  • Masalah surat kuasa dari anggota kelompok Bantahan pertama yang sering diajukan tergugat terhadap pihak penggugat dalam kasus class action adalah tidak adanya surat kuasa yang diberikan anggota kelompok terhadap perwakilan.
  • Masalah surat gugatan yang tidak dapat menjelaskan secara rinci perihal fakta hukum, definisi kelas, kesamaan tuntutan antar anggota kelompok, serta mekanisme pembayaran ganti rugi juga turut berkontribusi dalam gagalnya class action. Hal tersebut akan menyulitkan penggugat dalam membuktikan unsur kesamaan kepentingan antara perwakilan dengan anggota kelompok yang diwakilinya.
  • Menyetarakan gugatan class action dengan legal standing pada sejumlah kasus, pihak penggugat masih terjebak dalam pemahaman yang menyamakan prosedur class action dengan legal standing yang identik dengan hak gugat LSM.
  • Implementasi putusan pengadilan dalam pengajuan gugatan dengan ganti rugi uang, penggugat sering kali tidak menjabarkan mekanisme distribusi kerugian.

Kasus Class Action di Indonesia sebenarnya bukanlah prosedur hukum yang asing di Indonesia. Awalnya, gugatan perwakilan dianggap tidak sesuai diterapkan di Indonesia yang notabene penganut sistem civil law, sedangkan class action sendiri merupakan produk dari common law yang diterapkan di Inggris dan Amerika Serikat.

Di negara yang menganut sistem common law, hukum terbentuk berdasarkan putusan-putusan pengadilan. Jadi, jika ada kasus baru yang muncul, hakim akan mengacu kembali kepada putusan hukum untuk kasus sebelumnya. Prosedur class action mulai dikenal di Indonesia saat pengacara R.O Tambunan mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap pabrik rokok Bentoel pada 1987. Beliau mewakili orang tua dan remaja di seluruh Indonesia dengan dalil yang menyatakan iklan rokok Bentoel telah meracuni para remaja, mengganggu kesehatan, dan menghancurkan generasi muda. Gugatan tersebut tidak dapat diterima karena pada saat itu gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku. Di samping itu, pihak penggugat juga dinilai tidak memiliki kepentingan serta hubungan hukum dengan kelompok yang diwakilkan.

Di Indonesia sendiri class action baru diakui keberadaannya pada awal tahun 2000-an. Meski prosedur tersebut telah memiliki ketentuan hukum, dalam praktiknya tetap ditemukan sejumlah aspek yang membuat prosedur tersebut gagal mewujudkan tujuan peradilannya. Adapun beberapa contoh kasus class action pasca diterapkannya PERMA No. 1 Tahun 2002 di antaranya:

  1. Class action warga eks lokasilisasi Dolly Surabaya (Ditolak). Ratusan warga eks lokalisasi Dolly yang tergabung dalam Front Pekerja Lokasilisasi (FPL) mengajukan gugatan class action terhadap Pemkot Surabaya dan menuntut ganti rugi sebesar Rp270 miliar. Pihak Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan bahwa gugatan tersebut tidak sah karena tidak dapat dikategorikan sebagai gugatan kelompok. Pihak penggugat pun dinilai tidak mampu menjabarkan tuntutannya secara jelas dan detail. Di samping itu, pihak pengadilan menilai gugatan tersebut salah alamat sebab seharusnya dilayangkan ke PTUN karena berkaitan dengan keputusan pemerintah yang diduga merugikan banyak pihak.
  2. Class action warga Bukit Duri terhadap Pemda DKI Jakarta (Dikabulkan) pada 10 Mei 2016, warga Bukit Duri mengajukan gugatan class action terhadap Pemda DKI Jakarta atas keputusan penggusuran kawasan permukiman warga untuk normalisasi Kali Ciliwung. Menurut warga, keputusan tersebut tidak memiliki dasar hukum sehingga tidak dapat dilanjutkan. Pengadilan memutuskan untuk mengabulkan gugatan warga Bukit Duri pada Oktober 2017, meski nilai ganti rugi yang dikabulkan jauh lebih kecil dari tuntutan warga.
  3. Class action warga Indramayu terhadap PT PG Rajawali II (Dikabulkan) Warga Desa Amis Kecamatan Cikedung Indramayu melayangkan gugatan class action pada PT Pabrik Gula Rajawali Cirebon atas kasus penyalahgunaan lahan hutan untuk kebun tebu. Penggugat menyatakan alih guna lahan hutan seluas 6.000 hektare tersebut membuat warga sekitar kehilangan mata pencahariannya. Tak hanya berdampak pada segi ekonomi, perubahan fungsi lahan tersebut juga menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Kualitas kesehatan warga sekitar pun menurun akibat polusi udara yang disebabkan pembakaran tebu oleh perusahaan. Setelah melalui proses persidangan, pihak pengadilan memutuskan untuk mengabulkan tuntutan warga, yang salah satunya adalah mengembalikan kebun tebu menjadi kawasan hutan dengan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
  4. Class action pelanggan PDAM Tirtanadi Medan (Ditolak) Konsumen PDAM Tirtanadi Medan melakukan gugatan class action akibat dugaan pelanggaran hak konsumen oleh PDAM Tirtanadi yang gagal mendistribusikan air. Namun, karena adanya perbedaan pandangan hukum antara penggugat dan hakim, pengadilan memutuskan untuk menolak gugatan tersebut. Disamping itu, hakim menilai perwakilan penggugat tidak mampu memaparkan gugatannya dengan jelas. Pihak perwakilan penggugat masih berusaha menempuh upaya hukum lain agar gugatannya dapat kembali diproses.
  5. Class action nasabah Bank Perkreditan Rakyat Bungbulang Garut (Dikabulkan) Hilangnya dana nasabah BPR Bungbulang akibat likuidasi membuat para nasabah mengajukan gugatan class action terhadap bank dan menuntut pengembalian dana.

Dalam gugatannya tersebut, penggugat menuntut BPR Bungbulang dan Pemerintah Kabupaten Garut membayar ganti rugi sebesar Rp182 juta untuk setiap nasabah untuk kerugian imaterial, membayar bunga tabungan Rp1.200.000 dan bunga deposito sebesar Rp1,2 miliar. Pihak penggugat pun meminta uang tabungan Rp478.000.000 dibayarkan dalam bentuk deposito yang nilainya mencapai Rp3,5 miliar.  Meski class action perbankan jarang terjadi di Indonesia, pihak pengadilan nyatanya mengabulkan gugatan nasabah karena kelompok penggugat berjumlah mencapai 600 orang. Kemenangan gugatan nasabah atas bank ini diklaim sebagai kemenangan class action perbankan pertama yang terjadi di Indonesia.

Perbedaan Class Action dan Citizen Lawsuit

Jika ditelaah definisinya, class action, legal standing, dan citizen lawsuit memiliki prinsip yang sama, yakni gugatan kelompok yang diwakilkan oleh seseorang atau beberapa orang. Ketiga jenis prosedur hukum tersebut sama-sama memperjuangkan kepentingan publik yang dikorbankan atas pelanggaran hak dari pihak-pihak dengan wewenang untuk membuat kebijakan. Namun, dalam legal standing, pihak yang boleh mengajukan gugatan hanyalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki hak gugat LSM.

Dilihat dari berbagai segi, class action dan citizen lawsuit lebih banyak memiliki kesamaan. Bahkan, tak jarang masih banyak orang yang menganggap kedua prosedur tersebut sama di hadapan hukum. Namun, meski mekanismenya kurang lebih sama, tetap ada sejumlah perbedaan vital. Adapun beberapa aspek yang membedakan class action dengan citizen lawsuit di antaranya:

  • Pihak yang dapat mengajukan gugatan dalam class action, pengajuan gugatan hanya dapat dilakukan pihak yang mengalami kerugian secara langsung. Jika gugatan diwakili langsung oleh anggota kelompok yang terdampak kerugian, perwakilan tidak memerlukan surat kuasa khusus. Berbeda halnya jika pihak perwakilan yang mengajukan gugatan tidak mengalami kerugian langsung, surat kuasa khusus dari kelompok yang diwakili mutlak dibutuhkan sebagai syarat formal mengajukan gugatan di pengadilan.
  • Sementara itu, pada citizen lawsuit, setiap warga negara berhak mengajukan tuntutan hukum dan bertindak dengan mengatasnamakan warga negara. Pihak tergugat dalam citizen lawsuit biasanya presiden, wakil presiden, menteri, serta pejabat negara yang dinilai telah melakukan pelanggaran hak publik. Dalam citizen lawsuit, penggugat tidak perlu lagi dipisah-pisah berdasarkan kelompok, kesamaan fakta hukum, serta kerugian sebagaimana yang ditemukan dalam mekanisme pengajuan gugatan class action. Pengajuan gugatan citizen lawsuit pun tidak memerlukan adanya notifikasi option out atau pemberitahuan keluar keanggotaan kelompok setelah gugatan didaftarkan.
  • Dasar hukum Seperti yang dibahas sebelumnya, rumusan class action tercantum dalam PERMA No. 1 Tahun 2002. Namun, citizen lawsuit belum memiliki dasar hukum yang memayungi mekanisme pengajuan serta persyaratannya.
  • Citizen lawsuit atau gugatan warga negara sebenarnya sudah diterapkan di Amerika Serikat dan Inggris. Meski demikian, Belanda, yang notabene menganut sistem civil law, juga mengakui penerapan prosedur ini di negaranya. Prosedur citizen lawsuit di Belanda lebih dikenal dengan istilah Actio Popularis karena memang prosedur ini lebih populer di negara-negara common law.
  • Dasar hukum penerapan citizen lawsuit memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam perundang-undangan Indonesia. Namun, prinsip dasar citizen lawsuit diungkapkan secara tersirat dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 2 ayat (4) yang berbunyi: Peradilan dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.
  • Kesamaan fakta dan dasar hukum Dalam persyaratannya, class action mengharuskan pihak perwakilan memiliki kesepahaman yang sama dengan kelompok terkait fakta peristiwa dan kesamaan hukum yang bersifat mutlak. Meski demikian, perbedaan tetap dimungkinkan terjadi selama tidak bersifat substansial dan prinsipiil. Persyaratan tersebut tidak terdapat dalam citizen lawsuit. Warga negara penggugat tidak perlu membuktikan adanya kesamaan fakta dan hukum dengan kelompok yang diwakilinya sebab penggugat mewakili warga negara.
  • Kerugian Class action menuntut adanya ganti rugi dalam gugatannya. Ganti rugi tersebut baik berupa pembayaran uang tunai, biaya pemulihan kesehatan, atau perbaikan kerusakan. Namun, dalam citizen lawsuit, tidak boleh ada tuntutan ganti rugi dalam gugatan yang diajukan ke pengadilan sebab warga negara penggugat tidak mengalami kerugian secara langsung.
  • Tuntutan atau petitum citizen lawsuit hanya boleh berisi permohonan agar negara mengeluarkan kebijakan yang memastikan tidak ada hak warga negara yang dilanggar oleh pemerintah.

Class action dan citizen lawsuit merupakan implementasi pelaksanaan hukum yang cepat, efisien, dan ringan dalam segi biaya. Namun, dalam praktiknya, banyak masyarakat yang masih awam dengan dua prosedur hukum tersebut. Padahal, jika diterapkan secara saksama, tuntutan hukum dapat berlangsung lebih efektif dan bebas dari inkonsistensi.

Lawyers FNL dapat membantu Anda dalam memberikan solusi terbaik atas permasalahan legalitas kegiatan usaha perusahaan Anda. Anda dapat menghubungi kami melalui info@fenovanoersal-law.com atau +62 811 9696 568, +62 811 1504 030

This Post Has 0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top