skip to Main Content
UU Kejaksaan: Jaksa Berhak Ajukan PK!

UU Kejaksaan: Jaksa Berhak Ajukan PK!

UU Kejaksaan: Jaksa Berhak Ajukan PK!

Eva Safitri – detikNews

Selasa, 07 Des 2021 15:21 WIB

Jakarta – DPR mengesahkan Revisi UU Kejaksaan menjadi UU. Salah satu hal yang baru adalah jaksa berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melarangnya.

“Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali,” demikian bunyi Pasal 30C huruf H sebagaimana dikutip detikcom dari RUU yang disahkan DPR, Selasa (7/12/2012).

Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa peninjauan kembali oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang (equality of arms principle) dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali.

“Peninjauan kembali yang diajukan oleh oditurat dikoordinasikan dengan Kejaksaan. Jaksa dapat melakukan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan,” demikian bunyi penjelasan tersebut.

Hal itu sejalan dengan Pasal 263 ayat 2 dan 3 KUHAP yang berbunyi:

(2)   Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

  1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
  2. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
  3. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

(3)   Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Soal kasus jaksa tidak boleh meminta PK pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu saat istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, mengajukan judicial review KUHAP ke MK. Dalam putusan itu, MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.

“Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma quo,” ucap ketua majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 33/PUU-XIV/2016 di ruang sidang MK, Kamis (12/5/2016).

Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi:

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Dengan putusan itu maka Pasal 263 ayat 1 haruslah dimaknai jaksa tidak berwenang mengajukan PK. Sebab bisa menimbulkan dua pelanggaran prinsip PK yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek PK. Subjek PK adalah terpidana atau ahli warisnya dan objek adalah putusan di luar putusan bebas atau lepas.

“Apabila memberikan hak kepada jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) tentu menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan,” cetus MK yang diketok secara bulat oleh 9 hakim konstitusi.

Awalnya, Djoko divonis bebas oleh PN Jakarta Selatan hingga tingkat kasasi pada 2001. Alasannya, perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana, melainkan lingkup perbuatan perdata. Selang 8 tahun kemudian, jaksa penuntut umum mengajukan permohonan PK dan menang. Djoko dihukum bersalah dan dipidana 2 tahun penjara. Namun Djoko kabur sesaat setelah amar PK diputuskan. Djoko belakangan menyuap sejumlah pejabat Indonesia agar bisa mengajukan upaya PK. Akhirnya Djoko diadili.

Kini Djoko Tjandra, dihukum 2,5 tahun penjara di kasus surat palsu dan 4,5 tahun penjara di kasus korupsi menyuap pejabat. Selain itu, Djoko harus menjalani hukuman korupsi 2 tahun penjara di kasus korupsi cessie Bank Bali lebih dari Rp 500 miliar.

(asp/tor)

This Post Has 0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top